The grape
is sour, merupakan salah satu judul dari sebuah buku besar yang berjudul
ENSIKLOPEDI Nurcholish Madjid. Buku tersebut dicetak pada tanggal 17 Agustus
2008. Diterbitkan oleh Yayasan Pesantren Indonesia Al-Zaytun. The grape is sour,
memberikan pelajaran berharga untuk dapat mensyukuri nikmat Allah SWT. Berikut
tulisan yang saya kutip dari buku ENSIKLOPEDI Nurcholish Madjid.
THE GRAPE
IS SOUR
Seandainya
tidak selalu tersedia cara menghibur diri, maka barangkali beban hidup di dunia
ini tidak akan terpikul oleh pundak psikologi kita. Tetapi sementara banyak
hiburan yang memang sehat, semisal olahraga, namun juga da jenis hiburan yang
kurang sehat, mungkin juga berbahaya. Pembicaraan kita sehari-hari sering
menyangkut itu.
Namun, di
sini kita hendak membicarakan tentang cara menghibur diri seperti dimaksud
dengan metafora ucapan: “Anggurnya masam!” (the
grape is sour!). Adalah seekor srigala besar yang suka menahan gengsi
kepada kawan-kawannya bahwa ada sebatang pohon anggur di dusun sebelah yang sedang
berbuah lebat. Dia tergiur oleh bayangan buahnya yang ranum. Maka kepada
kawan-kawannya bahwa dialah yang menyatakannya. Kawan-kawannya mengiyakan saja,
namun mereka tidak mau ikut. Dan pergilah serigala besar itu menuju pohon
anggur yang dimaksud.
Tidak
lama kemudian dia kembali ke kawan-kawannya. Mereka bertanya, “Sudah puas makan
anggur?” Tapi kawan-kawannya tertawa dalam hati. Mereka tahu anggur itu
benar-benar manis. Persoalannya ialah pohonnya cukup tinggi, sehingga pohoonnya
tidak tercapai oleh srigala mana pun termasuk srigala besar itu. Dia katakana
masam, hanya untuk menutupi kegagalannya mencapai buah itu. Dia sangat merasa
perlu tahan gengsi.
Telah
dikatakan bahwa hiburan seringkali memang kita perlukan. Tapi, kalau caranya
ialah dengan menyalahkan pihak lain untuk kegagalan kita, maka kita tidak
menghibur, tapi menipu diri sendiri. Dan ini berbahaya, karena hal itu member
kita rasa terhormat yang palsu. Padahal yang terjadi ialah kita sedang menutup
diri dari kemungkinan perbaikan.
Orang yang
beriman kepada Allah tidak semestinya punya sikap tahan gengsi semacam itu,
sebab “afiliasi”-nya ialah kepada Allah Yang Mahamulia. Seorang beriman merasa
mulia “bersandar” (tawakal) kepada Allah, seperti perlu kita camkan pada ajaran
Kitab Suci, karena itu, barangsiapa
menghendaki kemuliaan, maka kepunyaan Allah-lah kemuliaan itu seluruhnya.
Kepada-Nya naik semua ucapan yang baik, dan amal saleh akan diangkat oleh-Nya
(Q., 35: 10).
Artinya
kita harus merasa hormat karena menunjukkan seluruh kegiatan kita kepada Allah,
demi perkenan atau ridla-Nya.
Sedangkan keberhasilan dan kegagalan adalah kenyataan hidup sehari-hari yang
dapat terjadi silih berganti. Sudah tentu kita menghendaki keberhasilan. Tetapi
jika kegagalan harus menimpa, hendaknya kita tidak berusaha untuk
menutup-nutupi hanya karena tahan gengsi. Apalagi nikmat-nikmat Tuhan yang
diberikan kepada kita banyak sekali, tidak terhitung berapa banyak karunia
keberhasilan kita. Takkan terhitung. Ada peringatan dalam kitab suci: Dan kalau kamu menghitung nikmat Allah, kamu
tidak akan dapat menghitungnya. Sesunguhnya Allah itu pastilah Maha Pengampun
dan Maha Penyayang (Q., 16: 18). Maka kita harus senantiasa mampu untuk
bersyukur kepada-Nya, sebab bersyukur itu mempunyai arti menjaga optimisme dan harapan
kepada Allah, pangkal sukses sejati.